Museum Aceh adalah tempat yang tidak boleh dilewatkan saat singgah di Banda Aceh. Terletak di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah, Banda Aceh, museum ini menyimpan berbagai pernak-pernik peninggalan sejarah masyarakat Aceh sejak era prasejarah. Disini kita dapat menemukan berbagai jenis perkakas, peralatan pertanian, peralatan rumah tangga, senjata tradisional dan pakaian tradisional. Di museum ini kita juga dapat menemukan berbagai koleksi manuskrip kuno, dokumentasi foto sejarah dan maket dari perkembangan Masjid Agung Baiturrahman.
Museum ini didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Peresmian dilakukan pada tanggal 31 Juli 1915, oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jenderal H.N.A Swart. Museum ini dikepalai oleh FW Stammeshaus yang menjabat sebagai Kepala Museum sekaligus Kurator hingga tahun 1931. Pada saat itu, museum ini hanya berbentuk sebuah rumah tradisional Aceh (Rumoh Aceh) yang keberadaannya masih tetap dipertahankan dalam area halaman museum hingga saat ini. Bangunan berbahan dasar kayu ini berbentuk rumah panggung dengan sistem konstruksi pasak yang dapat dibongkar pasang secara fleksibel.
Rumoh Aceh ini sebelumnya dipertunjukkan dalam Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) yang berlangsung di Semarang pada tahun sebelumnya. Dalam pameran tersebut, kebanyakan koleksi di Paviliun Aceh merupakan koleksi pribadi Stammeshaus ditambah berbagai koleksi benda pusaka peninggalan kesultanan Aceh. Dalam pameran ini, Rumoh Aceh memperoleh anugerah sebagai Paviliun terbaik dengan perolehan 4 medali emas, 11 perak serta 3 perunggu untuk berbagai kategori.
Diantara koleksi yang cukup populer dari museum ini adalah sebuah lonceng yang usianya telah mencapai 1400 tahun. Lonceng ini bernama ‘Lonceng Cakra Donya’ yang merupakkan hadiah dari Kaisar Cina dari Dinasti Ming kepada Sultan Pasai pada Abad Ke-15, yang dihadiahkan saat perjalanan muhibah Laksamana Muhammad Cheng Ho. Lonceng ini dibawa ke Aceh saat Sultan Ali Mughayat Syah dari Kesultanan Aceh menaklukkan Pasai pada tahun 1524 M.
Setelah Indonesia Merdeka, Museum Aceh menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh. Pada tahun 1969 atas prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan dari tempatnya yang lama (Blang Padang) ke tempatnya yang sekarang ini, di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah pada tanah seluas 10.800 m2. Setelah pemindahan ini pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda (BAPERIS) Pusat.
Sejalan dengan program Pemerintah tentang pengembangan kebudayaan, khususnya pengembangan permuseuman, sejak tahun 1974 Museum Aceh telah mendapat biaya Pelita melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh. Melalui Proyek Pelita telah berhasil direhabilitasi bangunan lama dan sekaligus dengan pengadaan bangunan-bangunan baru. Bangunan baru yang telah didirikan itu gedung pameran tetap, gedung pertemuan, gedung pameran temporer dan perpustakaan, laboratorium dan rumah dinas.
Selain untuk pembangunan sarana/gedung Museum, dengan biaya Pelita telah pula diusahakan pengadaan koleksi, untuk menambah koleksi yang ada. Koleksi yang telah dapat dikumpulkan, secara berangsur-angsur diadakan penelitian dan hasilnya diterbitkan guna dipublikasikan secara luas
Sejalan dengan program Pelita dimaksud, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh dan Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (BAPERIS) Pusat telah mengeluarkan Surat Keputusan bersama pada tanggal 2 september 1975 nomor 538/1976 dan SKEP/IX/1976 yang isinya tentang persetujuan penyerahan Museum kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayan untuk dijadikan sebagai Museum Negeri Provinsi, yang sekaligus berada di bawah tanggungjawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kehendak Pemerintah Daerah untuk menjadikan Museum Aceh sebagai Museum Negeri Provinsi baru dapat direalisir tiga tahun kemudian, yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 28 Mei 1979, nomor 093/0/1979 terhitung mulai tanggal 28 Mei 1979 statusnya telah menjadi Museum Negeri Aceh. Peresmiannya baru dapat dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada tanggal 1 September 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Yoesoef.
Sesuai peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai Daerah Otonomi pasal 3 ayat 5 butir 10 f, maka kewenangan penyelenggaraan Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Aceh berada di bawah Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sekarang Provinsi Aceh).
Sumber : http://aceh.net/news/detail/meuseum-aceh-mengenal-peninggalan-bersejarah-aceh
No comment yet, add your voice below!