Saya sudah sering ke Aceh tapi baru sekali ini agak santai. Yakni ketika hari Jumat lalu saya harus memenuhi permintaan Najwa Shihab untuk tampil di acara “Mata Najwa on Stage” yang diselenggarakan di Universitas Syahkuala, Banda Aceh. Sehari sebelumnya, Kamis malam, saya sudah tiba di Aceh. Memang bisa saja saya menggunakan pesawat Jumat pagi dari Jakarta, tapi waktunya terlalu mepet. Informasi awal yang saya terima acara itu akan dimulai pukul 14.00 setelah sholat Jumat. Ternyata acara baru mulai pukul 15.00. Menunggu kedatangan tokoh top saat ini, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pugjiastuti. Tak apa. Toh setelah tidak lagi jadi menteri, saya lebih bisa mengatur waktu.Saya juga menjadi punya waktu untuk bertemu teman-teman Aceh dalam suasana yang lebih longgar.
Kamis malam itu saya dijemput teman-teman pengurus FOBI (Federasi Olahraga Barongsai Indonesia) yang diketuai pengusaha Kho Khie Siong, teman-teman muda dari Meulaboh yang diketuai Fuad Hadi yang sengaja datang ke Banda Aceh untuk bertemu saya, dan teman-teman muda Banda Aceh sendiri seperti musikus jazz Ahmad Mirza Safwandy dan pengusaha muda Cipta Makmur. Tentu acara malam itu penuh dengan kuliner. Bahkan sejak masih di Jakarta saya terus-menerus di SMS oleh Pak Junaidi Johni untuk makan ikan bakar “JJ” di Simpang Mesra, miliknya. SMS beliau bisa seperti minum obat, tiga kali sehari. Ikannya memang segar dan sambalnya mantab. Dari sini acara kuliner diteruskan dengan ngopi di warung kopi Solong. Bahkan saya beli kopi bungkusnya untuk saya bawa ke Jakarta. Malam sudah larut. Hujan deras membuat suasana malam terasa lebih malam. Tapi masih ada satu agenda kuliner lagi yang tidak boleh dilewatkan: makan durian. Soal makan nasi guri dan masakan Aceh lainnya dicadangkan untuk hari berikutnya.
Aceh sungguh sudah memenuhi syarat sebagai tujuan wisata kuliner. Mulai dari ayam tangkapnya, kepala ikannya, sampai kopinya. Banyaknya pesawat yang terbang langsung dari Jakarta ke Banda Aceh (tidak lagi harus lewat Medan) menjadi peluang yang besar untuk berkembangnya wisata kuliner di Aceh. Tiga hari di Aceh pun seorang wisatawan masih belum bisa menikmati seluruh makanan di Aceh yang diunggulkan. Kini banyak orang kaya di Jakarta yang sudah mulai berumur, yang sudah menyerahkan perusahaan ke anak-anak mereka. Para pengusaha itu umumnya kesulitan menghabiskan waktu kosongnya. Salah satu pilihan adalah menjelalah daerah-daerah yang wisata kulinernya terkenal. Saya sering menemui rombongan orang kaya yang bersama-sama naik kereta api dari satu kota ke kota lain di Jawa. Tujuan mereka hanya ingin menikmati wisata kuliner. Membaiknya layanan kereta api, dan kian macetnya jalan raya di Jawa membuat mereka lebih senang naik kereta api. Mereka bisa tiga-lima jam hura-hura di kereta api. Sama dengan tiga jam dari Jakarta ke Banda Aceh dengan pesawat. Biasanya mereka mengkaitkan wisata kuliner itu dengan olahraga untuk orang yang sudah berumur: pertandingan tenis atau pingpong persahabatan.
Tentu jumlah wisatawan jenis ini akan meningkat kalau bisa meluas ke orang-orang dari Kuala Lumpur, Pinang dan Malaka. Begitu dekat dari Aceh. Bukankah mereka sudah terlalu sering ke Medan? Giliran mereka ke Aceh. Tentu wisata kuliner saja tidak cukup. Harus ada minimal empat daya tarik lainnya. Lima daya tarik (saya menyebutnya lima lokomotif) itulah yang secara bersama-sama akan menarik gerbong wisatawan ke Aceh. Di Indonesia saat ini terdapat kira-kira 30 juta orang yang kaya. Jumlah ini sudah melebihi seluruh penduduk Australia atau juga Malaysia. Keberadaan mereka tidak terlalu kelihatan karena tercampur dengan puluhan juta orang yang sangat miskin. Kalau saja mereka tidak tercampur dengan yang miskin, kekuatan mereka sudah sama dengan Australia secara keseluruhan. Mereka itulah sasaran utama untuk jadi wisatawan (bersambung)
Sumber : Atjehpost.co