Skip to content

Catatan Dahlan Iskan Untuk Aceh : Lokomotif Kedua Juga Telah Tersedia

Nasi gurih Pak Rasyid, sarapan pagi yang cetarrr membahana

 

Marilah kita cari lokomotif kedua. Bulan lalu saya juga ke Banda Aceh. Untuk melantik pengurus daerah Barongsai Aceh. Sudah 12 tahun lebih menjadi ketua umum pusat organisasi barongsai. Sejak namanya masih Persobarin (Persatuan Seni dan Olahraga Barongsai Indonesia) sampai sekarang menjadi FOBI (Federasi Olahraga Barongsai Indonesia). Sejak barongsai masih dilarang tampil di depan umum, sampai sekarang ini FOBI sudah resmi menjadi anggota KONI.

Dari 12 tahun berpengalaman mengurus barongsai, baru bulan lalu saya menemukan keunikan yang satu ini. Dan kekhasan itu hanya terjadi di Aceh: acara barongsai di Aceh hari itu didahului dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran. Acara juga dibuka dengan doa khusu’ secara Islam. Bahkan hanya di Aceh ini pertunjukan liong (tari naga), dikombinasikan dengan tari daerah Aceh yang sama-sama dinamisnya. Sangat menarik kolaborasi pertunjukan yang saya lihat malam itu.

“Saya memang lebih bangga menyebut diri sebagai orang Aceh,” ujar Kho Khie Siong, Ketua FOBI Aceh yang sehari-hari menjadi pengusaha asuransi itu. A-Khie, nama panggilannya,  adalah juga ketua organisasi suku Gek, salah satu suku dalam lingkungan masyarakat Tionghoa. “Bahasa mandarin pun saya sudah tidak bisa. Pak Dahlan malah lebih pandai,” katanya sambil mengarahkan jari ke saya. Kalau ada anak muda Aceh yang bertanya apakah dirinya Tionghoa, A-Khie sambil bergurau selalu balik bertanya: “kamu umur berapa? Saya lebih banyak kale pajoh asam sunti Aceh dari kamu,” guraunya.

Pun, penabuh genderang  barongsai di Aceh sudah campuran. Hanya beberapa yang anak Tionghoa. Lebih banyak pribuminya. Bahkan ada yang pakai jilbab. Ini sih memang sudah menjadi gejala di seluruh Indonesia. Di Jawa Timur, misalnya, banyak pemain barongsai dari suku Madura atau Jawa.

Mungkin masyarakat Tionghoa Aceh yang fanatik ke-Acehannya seperti A-Khie bisa ikut diminta membantu menciptakan salah satu dari lima lokomotif itu. Kelenteng, barongasai, dan kolaborasi dengan tari daerah, bisa dikemas yang jitu. Yang akan bisa ikut menarik gerbong wisata di Aceh. Terutama wisatawan suku Tionghoa dari Penang, Kuala Lumpur dan Malaka. Toh wisatawan Tionghoa dari daerah-daerah di Malaysia tersebut sudah sangat familiar dengan adat istiadat melayu dan kebiasaan dalam masyarakat Islam. Mereka tidak akan kaget menemukan Aceh yang sangat Islami. Kelak wisatawan Tionghoa dari Malaysia itu yang akan jadi corong Aceh untuk menarik wisatawan Tionghoa dari negara yang lebih jauh seperti Hongkong, Taiwan dan Tiongkok.

Itulah lokomotif kedua yang bisa disiapkan dengan semangat kebersamaan.

Lokomotif kedua itulah yang saya pikirkan menjelang tidur di rumah Cipta Makmur, di Jalan xxxxxx Banda Aceh, Kamis malam lalu. Minum kopi Solong dan makan durian Aceh tidak membuat saya sulit tidur. Mata memang sudah mengantuk. Maklum sudah jam 00.00.

Malam itu saya tidur 4 jam. Meski di Aceh waktu subuhnya setelah jam 05.00 tapi kebiasaan bangun jam 04.00 terbawa ke Aceh.

Begitu bangun kami langsung siap-siap ke Masjid Raya untuk sholat subuh. Ceramah ba’da subuh yang bertemakan aqidah yang disampaikan ustadz Drs H. Karim Syech MA, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Banda Aceh, sangat menarik. Saya mengikutinya sampai selesai. Terutama ketika beliau menguraikan perayaan tahun baru dan Natal. Dari masjid itu kami langsung berolahraga. Jalan cepat keliling pusat kota. “Kenapa jalannya begitu cepat pak Dahlan?,” tanya Mirza.

Lalu saya jelaskan, apa itu definisi olahraga. “Olahraga adalah gerak tubuh yang membuat jantung berdetak minimum 115 kali, selama 15 menit terus menerus”. Di situ ada unsur gerak tubuh, ada unsur detak jantung, ada unsur 15 menit, dan ada unsur terus menerus. Memang bisa saja ada orang yang jantungnya berdetak 115 kali tanpa tubuhnya bergerak. Tapi itu pasti bukan karena olahraga. Itu karena kaget, misalnya.

Jalan cepat yang benar itu juga tidak boleh sebentar-sebentar berhenti. Detak jantung yang sudah mencapai 115 kali bisa turun lagi. Maka berjalan itu harus cepat. Tidak usah lama. Cukup 15 menit. Asal jangan berhenti atau menurunkan kecepatan sama sekali.

Bagi aaya jalan santai itu bukan olahraga. Lalu, apakah jalan santai ramai-ramai itu jelek? Tidak. Itu bagus juga. Tapi kategorinya bukan olah raga, melainkan rekreasi. Pagi itu, saya, Mirza, Cipta dan Fuad benar-benar berjalan cepat, kira-kira 6 km/jam. Terus menerus. Selama 15 menit. Kok ya tepat, ujung akhir jalan cepat itu di lokasi yang sangat menyenangkan: warung nasi guri pak Rasyid. Makanan khas Aceh kembali menggoda saya: nasi guri daging, dendeng Aceh, bergedel dan rombongannya.

Setelah kenyang, kami pun kembali ke rumah Cipta: mandi. Lalu kami ke sebuah kantor yang belum pernah saya kunjungi: kantor harian Rakyat Aceh. Inilah untuk pertama kalinya saya ke kantor Rakyat Aceh. Alamatnya pun saya tidak tahu. Mirza sampai harus bertanya-tanya di mana lokasi kantor Rakyat Aceh. Saya pernah ke lokasi itu, hampir 10 tahun lalu, tapi ketika tanahnya masih milik orang lain. Saya ke situ untuk membelinya.

Sejak itu saya tidak pernah tahu apakah jadi dibeli atau tidak. Kalau jadi, apakah sudah dibangun atau belum. Ternyata di lokasi itu kini sudah bediri bangunan kantor dan percetakan harian Rakyat Aceh. Hanya pertamanannya yang masih belum disentuh. Saya sendiri tidak mengenali lagi lokasi itu. Dulu, rasanya jauh sekali dari pusat kota. Dan tersembunyi di jalan kecil. Sekarang, sudah ada jalan aspal dua arah di depannya. Persis berhadapan dengan gedung xxxxxxxx.

Selama menjabat Dirut PLN/menteri BUMN saya memang sering ke Aceh. Tapi  tidak mau ke kantor Rakyat Aceh. Kurang sopan. Kok masih ke kantor perusahaannya sendiri. Tapi karena kini sudah “merdeka” saya ingin bertemu teman-teman di Rakyat Aceh. Memang saya tidak memberi tahu kedatangan saya ini, tapi dengan cepat teman-teman Rakyat Aceh berkumpul. Saya mendapat info bahwa enam bulan terakhir ini Rakyat Aceh mengalami kemajuan yang pesat. Terutama setelah koran ini dicetak di Banda Aceh, dengan mendatangkan mesin cetak yang berwarna. Alhamdulillah.

Dari Rakyat Aceh inilah saya mengunjungi salah satu obyek yang mungkin bisa menjadi lokomotif ketiga dari lima lokomotip yang diperlukan Aceh untuk mensukseskan wisatanya. (Bersambung)

Sumber : Atjehpost.co