Pantai Lange berada di Desa Lam Lhom, Aceh Besar. Dari pantai ini pula, Anda dapat menikmati satu spot menarik yang dikenal dengan Pantai Ie Rah, dua air mancur yang meluncur dari balik batu karang.
Eksotisme Pantai Lange yang masih “perawan” membuat banyak traveler atau backpacker lokal penasaran untuk menyusuri keindahannya di balik pegunungan.
Pertengahan Maret 2014, Tim Aceh Tourism menelusuri Lange. Perjalanan dimulai dari Kota Banda Aceh menuju Kawasan Wisata Lampuuk. Memakan waktu sekitar 30 menit dengan jarak tempuh sekitar 20 Kilometer. Atau jika melewati jalan raya Banda Aceh-Lhok Nga sekitar 15 menit.
Kami melewati gerbang masuk Pantai Lampuuk, singgah sejenak di Masjid Rahmatullah, masjid yang selamat dari amukan tsunami pada 2004 silam, meski berada di bibir laut. Dari sini, kami mengakses jalan desa hingga berhadapan dengan sebuah persimpangan di jalan Gampong Meunasah Lamgirek.
Ada papan informasi Joel’s Bungalow ditancapkan di situ sebagai panduan. Kami belok kanan hingga menemui famplet menuju Pantai Lange dan Pegunungan Lampuuk.
Belok kiri untuk melanjutkan trip. Menjamah hutan yang sepi. Memasuki jalanan setapak, bebatuan, dan menanjak. Kami dipandu Rahmad Taufik yang sudah dua kali ke Lange. Kami parkir motor di sebuah saung karena telah menyusun rencana bermalam di sana.
Harus mendaki Gunung Lampuuk sebelum menggapai Lange. Inilah fase tersulit. Pendakian dengan kemiringan 45 derajat memakan waktu satu jam. Namun setelah turun gunung, ada saung bambu yang bisa kami gunakan sebagai tempat menghimpun energi.
Selanjutnya kami menyusuri jalur datar berliku. Jalan selebar badan mobil jeep ini kelihatan seperti bekas aliran sungai. Kami menyusurinya dengan batu-batu kecil yang tertata rapi sebagai pijakan. Hutan tropis bak kanopi memayungi treking kami. Pun, cahaya matahari sore memancarkan sinar melalui celah-celah pepohonan berakar besar.
“Seperti dalam film Jurassic Park,” sebut Taufik mengibaratkan kondisi hutan seperti dalam adegan sebuah film Hollywood mengenai Dinosaurus. Setengah jam berlalu, kami akhirnya mencapai bukit yang mengakhiri perjalanan. Beberapa pohon pandan besar mempercantik panorama alam. Samudra Hindia membentang sejauh mata memandang. Matahari tenggelam dengan bulatnya. Garis pantai tampak bersih di bawahnya dengan warna kuning tua. Pantai Lange ibarat kanvas panjang yang siap dilumuri gurat senja.
Rahmad Taufik membawa kami ke Pantai Ie Rah, sekitar 500 meter ke kanan Pantai Lange. Menuruni bukit, menyusuri pasir pantai yang bersisik. Kami benar-benar seperti berjalan di gurun pasir andai saja tidak terdengar debur ombak. Matahari mengeluarkan rona merah jambu di detik-detik sirnanya. Sementara kami harus segera melewati sebuah tebing besar dengan ketinggian 4 meter untuk mencapai Ie Rah. Ada dua pilihan. Memanjatnya dengan hati-hati. Atau mengambil sisi laut untuk menyeberangi lewat celah batu.
Setelah itu, kami jalan kaki menempuh tebing-tebing, bagai koloni semut berjalan di batu-batu kecil halaman rumah.
“Itulah Ie Rah Beach,” kata Rahmad Taufik sembari menunjuk dua titik yang menyemburkan air mancur di kejauhan.
Dua titik air meluncur dari batu karang di bibir pantai. Bagai pompa air. Ketinggian pancuran bisa mencapai 5 meter. Pemandangan yang hampir melenakan. Hari akan gelap. Kami segera memasang tenda untuk bermalam dengan tenang. Ada banyak kayu bakar di sekitar itu, memudahkan persiapan kami.
Gemintang berkerlap-kerlip di langit. Debur ombak menghempas karang berirama. Tim Aceh Tourism bersama lima pemuda lainnya, kala itu, mengisi malam dengan sebuah kreativitas.
Ikbal Fanika, fotografer Aceh Tourism, mempraktikkan satu teknik fotografi yang disebut light trail photography. Teknik membuat jejak cahaya dalam kegelapan. Kami pun menuliskan “We love Lange” dengan sinar lampu telepon genggam.
Sesudah itu, kami saling berbagi cerita sambil ngopi. Gemuruh laut dan suara binatang bertalu-talu dari belantara di belakang tenda. Api unggun yang menari-nari cukup membuat kami asik menikmati Ie Rah. Jauh dari kebisingan kota, penduduk, dan hormon-hormon beban lenyap di kepala.
“Api unggun tak boleh mati kalau tidur di hutan, sebab dapat mengundang binatang buas,” kata Fahrijal, teman lainnya. Kami menyiapkan kayu bakar besar. Ia masih menyala saat kami terbangun jam 5 pagi.
Namun matahari terbit tak terlihat dari Ie Rah. Pun begitu, nuansa pagi tetap damai. Air mancur dari terumbu karang. Berjalan di pasir yang belum berjejak. Memasak untuk sarapan bersama sebelum pulang.
Sebelum meninggalkan lokasi, Taufik yang juga pecinta alam, meminta kami tidak meninggalkan jejak. Merapikan bekas tenda. Mengutip sampah plastik, mengisinya dalam kantung besar. Dia lantas mengikatnya di pinggang, dibawanya pulang sebagai wujud menjaga lingkungan.
Menikmati wisata alam di Lange dan Ie Rah tak dipungut biaya. Jika Anda ingin ke sana, jangan lupa membawa bekal logistik dan perlengkapan bermalam sesuai jadwal perjalanan. Setidaknya butuh dua botol besar air mineral per orang untuk semalam di sana. Minta izinlah pada warga di desa terakhir sebelum ke Lange, alangkah baiknya jika mereka ikut menemani. (Makmur Dimila)
Sumber : http://www.acehtourism.info/id/pantai-lange-si-cantik-yang-masih-perawan/
No comment yet, add your voice below!